Tampilkan postingan dengan label HIKMAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HIKMAH. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 November 2018

Mendengar Kokok Ayam

Mendengar ayam berkokok sedini ini teringat pada sebuah keterangan dalam kitab al-adzkar. Di sana disebutkan bahwa ketika ayam berkokok lewat tengah malam itu tanda bahwa para ma la ikat turun ke langit bumi. Mereka diutus oleh Allah untuk mendatangi orang-orang yang tengah bermunajat pada-Nya. Lalu mereka para malaikat diperintahkan memungut doa-doa hambanya yang tengah khusu' bermohon pada Allah.

Karena itu pula, Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk mengisi sepertiga malam terakhir dengan ibadah berupa shalat tahajjud.

Pada Alqur'an, dijelaskan pula; "waminallaili fatahajjad bihi naafilatan laka, 'asaa an yab'asa rabbuka maqaaman mahmuda", dan dari sebagian malam bertahajudlah sebagai amalan sunnah bagimu, mudah-mudahan Rabbmu memgangkat derajatmu ke tingkatan yang terpuji.

#marimenulislagi

Sabtu, 15 Desember 2012

Tentang Hati

Ceritaku. Sebuah jalan yang kini ku lalui. Misteri. Penuh dengan tanda tanya. Nyaris tanpa dialog. Semuanya dijawab sendiri. Hati yang semakin nakal atau bahasa halusnya; hidup.
Seperti drama sebuah cerita legenda; Siliwangi. Sebuah perjalanan mengenal diri sendiri yang ternyata luasnya lebih luas daripada mengenal dunia; yang lamanya lebih lama daripada mengarungi samudera. Sebab pada diri dunia dan seisinya ada.
Benar sebuah pepatah yang mengatakan; man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu; barangsiapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya. Betapa sulit mengenal diri kita sendiri. Sesulit mengarungi hidup itu sendiri.  menelisik ke dalam diri, mencari celah-celah, mencari kelemahan-kelemahannya; mencari noda-noda dan menguasai suasana.
Lebih dari itu, setelah paham pada diri, yang lebih sulit adalah mengendalikannya dan mengarahkannya untuk sesuatu hal yang baik, yang bersih, yang bermanfaat bagi banyak orang. tentua dalam perjalanan mengenal diri itu amat panjang dan berliku. Di dalamnya ada pergulatan dan perseteruan antara hati dengan nafsu dan bisikan syetan. Kerapkali hati menang menjadi kebaikan, tetapi kadang kalah dan berbuah kenistaan. "beruntunglah orang-orang yang menyucikannya, merugilah orang-orang yang mengotorinya".

Rabu, 20 Juni 2012

Belajar Adil

Segala rasa berkecamuk ketika ada pertempuran sengit antara logika, rasa, hati, ego, cita, hasrat, nurani; apalagi semua itu bertolak pada sebuah lembaga pendidikan, sebuah formalitas dan aturan. Tentu disadari tidak semuanya menjadi tidak mudah, terutama berkaitan dengan birokrasi. Kelu lidah saat berhadapan dengan kekuasaan. Seakan pisau ide dan gagasan pada akhirnya tumpul dan menjadi tumbal bersama.

Sepenuhnya saya sadari, hidup di tengah formalitas memang harus sedikit formal dan kaku. Itu yang saya rasakan ketika harus membuat kebijakan dalam bidang saya sendiri; bahasa lainnya adalah pukul rata. Tidak bisa sebuah kebijakan itu berlaku sepihak, tetap harus sama tanpa pandang bulu.

Di sisi lain, dunia pendidikan adalah dunia ragam, dunia plural, dunia pembelajaran. Di mana tiap anak punya potensi yang berbeda, punya cita-cita yang berbeda pula, punya karakteristik dan kecenderungan yang berbeda, punya cara dan model sikap yang berbeda pula dalam menghadapi dan menempuh sebuah jalan hidup.

Dua sisi di atas saja secara mendasar--di mata saya--sudah bertolak belakang, jika tidak boleh dikatakan saling berbenturan. Satu sisi penampakan dari model rigiditas dan kekakuan, di sisi lain butuh kelenturan dan fleksibelitas agar tujuan pembelajaran dan proses pendidikan dapat berjalan selaras dengan multitalent yang anak-anak miliki.

Hingga yang dihadapi adalah perang antara dua sisi itu. Jujur, sulit mengelak dan membela kepentingan lemah-awam ketika berada pada sistem dan menjadi bagian darinya. Namun lambat tapi pasti ide dan gagasan pembelaan terhadap kaum lemah terus diselipkan sedikit demi sedikit, dibungkus dengan kemasan serapi mungkin. Sebab cuma itu sementara yang dapat dilakukan. Lebih banyak memutuskan dan mengorbankan keadilan atas keberimbangan antar pluralitas tersebut. Jujur.

Senyatanya, bukan mereka yang sakit; sebab kadang mereka terlalu muda untuk merasakan sakit model begitu. Namun tentu saya secara pribadi yang sesak dengan nafas tertahan lalu menghembus perlahan. Saya merasakan sendiri bagaimana pahitnya jadi korban kebijakan. Saya bahkan adalah anak yang sembilan hingga sepuluh tahun yang lalu "dihardik" dan dikeluarkan dari ruangan oleh "petugas" sebab belum membayar administrasi ujian.Saya adalah orang yang waktu itu harus bolak balik kantor-TU-Ruang uji berurusan dengan bendahara sementara anak-anak yang lain sedang mengisi lembar demi lembar soal ujian.

Saya miris menyaksikan setiap jengkal "ketidakadilan" (beginilah saya sekarang yang berada pada struktur; menulis kata ketidakadilan saja mesti pake tanda kutip,hm..). Sebab saya pernah berada di tengah ketidakadilan itu. Saya pernah merasukinya untuk mengungkap segala makna tentang ketidakadilan. Hingga di tengah jalan ada seorang teman--jean Marais--bilang; "Adillah sejak dalam pikiran".

Satu-satunya obat bagi saya adalah kesempatan yang saya dapat untuk bisa selalu mendoakan mereka; mengenang perjuangan dan keluh kesah mereka; menikmati tiap kata-kata murni dan polos mereka; menangisi apa yang menimpa mereka yang tertindas, agar bermurah Tuhan suatu saat menggantikannya dengan full kebaikan dan kemudahan.

"Kau membuatku mengerti hidup ini, kita terlahir bagai selembar kertas putih, tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai, dan terwujud harmoni"--Padi

Senin, 04 Juni 2012

REFLEKSI SINGKAT; AL-AMANAH

Tak terasa, setahun--tepatnya dua tahun--terlewati. Hari-hari di Karnas mengendap. Perlahan menjadi abu, lalu tanah, air, dan tempat tinggalku. Sekolah yang, dulu, terdengar asing di telingaku. Nyaris tak ada kaitan antara kejuruan--teknik atau management--dengan PAI sebagai spesifikasi kesarjanaanku. Tapi begitulah fakta, aku bekerja dan mengabdi di Karnas.

Singkat cerita, anda tahu, saya berkecimpung di dalamnya. Tak hanya menjadi guru PAI, namun ditugasi menjadi Wakil dari Pa Yepri. Dia adalah Pimpinan kami semua. Setahun lalu dua tahun terlampaui hingga saat ini ketika tulisan ini dibuat.

Ada banyak kisah dan liku yang dilewati. Pahit manisnya yang unik dan terkenang. Namun getir dan sesaknya juga yang berat. Saat ini malang melintang saling berebut hadir di tempurung otak. Berebut ditulis lebih dulu dan saling menonjolkan diri.

Tepatnya hari ini, selepas upacara bendera seperti biasanya, breafing kami para guru. Beberapa hal saya sampaikan sebagai persiapan bersama menghadapi ujian akhir. Beberapa di antara mereka memberi masukan bagi kelancaran ujian akhir. Itu sangat membantu kami.

Ada rasa yang tanpa diduga menyeruak. Datang dan lahir begitu saja. Sesuatu yang cukup menggelisahkan, sebuah pertanyaan mendasar, apa prestasi saya selama menjabat sebagai wakil kepala sekolah? lama saya berpikir. Hingga saya merasa harus menulis sesuatu di blog ini.

Banyak kekurangan di sana sini. Saya lalu terkenang ketika saya jarang mengingatkan guru-guru mengenai kapan mereka harus siap-siap pemeriksaa administrasi, kapan mereka harus mempersiapkan classvisit. Atau saya juga kadang lalai ketika saya tidak menegur mereka ketika teman-teman saya itu lupa pada tugasnya karena kesibukan dan lain hal. Saya juga sering alpa tidak memikirkan dan membantu bagaimana caranya teman-teman guru saya itu dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi mengajar mereka. Segudang kekurangan saya sebagai manusia datang satu per satu seperti slide dengan animation slow. Jurstu membuat saya malu pada diri saya sendiri, malu sebab pertanyaan tadi lahir di akhir kisah hingga saya tak kuasa menjawabnya dengan percaya diri dan tegar.

Kisah memang tak selalu manis meski semua orang menginginkan hal itu. Begitu juga dengan kisahku. Terutama pergulatan jiwa dan pikiran. Benar kata orang, otak dan hati kita lebih ramai dari pasar sekalipun. Menjadi wakil kepala sekolah bukan tugas yang mudah. Di mata saya itu bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Sama sekali bukan. Bagi saya itu amanah. Amanah itu titipan. Titipan itu milik orang lain.

Betapa anehnya jika ada orang yang bangga dengan sesuatu yang bukan miliknya, tetapi milik orang lain. Makin runyam saja kita dengan berdatangannya banyak pertanyaan dan sanggahan sekaligus, apakah kita sudah bisa amanah? sementara sifat itu adalah tuntutan bagi seorang muslim. Malu kita masih shalat kalau uang titipan milik orang lain saja masih kita embat, kita pakai, dan telat mengembalikan pada empunya. Bayangkan jika amanah itu jabatan, harta, kekuasaan, materi dan segala kemegahan dunia!

Lebih dari evaluasi formal, saya yakin, Allah menyaksikan segala yang diperbuat manusia, termasuk saya. Ia Maha Melihat, pun pada diri dan hati terdalam kita semua. Lalu Allah pula lah yang akan membalas atas apa yang kita perbuat, dengan siksa atau dengan pahala dan ridha-Nya. Semoga itu dapat membuat kita semuanya tetap waspada, bukan melulu takut berdosa tetapi melebihi itu karena kita semua ingin Allah cinta, Ingin Allah ridha. Itu saja. Sebab hakekat hidup adalah pengabdian pada Dia.

Siang yang panas ini membangunkan saya dengan sangat sadar bahwa saya harus memperbaiki kinerja, jika pun masih diberi kepercayaan untuk mengemban amanah yang berat ini. Jikapun tidak, semoga Allah mengampuni dosa dan kekeliruan saya selama menjalankan amanah tersebut, dan semoga teman-teman para guru berkenan memberi maaf bagi saya, agar lapang hidup saya di kemudian hari.


Kamis, 21 Oktober 2010

KENAPA KITA DIANJURKAN MEMBACA AL-QUR'AN

Orangtua kita dengan bijak meminta kita untuk belajar membaca al-Qur'an. Agar kita senantiasa membacanya, terus dan terus.Sebuah kisah barangkali dapat menjadi inspirasi agar kita gemar membaca al-Qur'an.

Alkisah. Seorang anak kecil di pedalaman Amerika yang muslim bertanya pada kakeknya, seorang saleh meski awam,
"kek, kenapa kita dianjurkan membaca al-Qur'an? padahal kita tak mengerti satu hurup pun".
Sang kakek hanya diam. Lalu ia menunjuk sebuah keranjang dari rotan kepada cucu tercintanya. Si cucu mengerti dan segera mengambil keranjang itu. Kakek pun berkata,
"cucuku, bawalah keranjang itu dan pergi ke sungai, bawakan aku air!".

Tanpa banyak bertanya si cucu beranjak. Sambil berlari ke sungai. Ia kais sebanyak-banyaknya air dari sungai dan dengan gesit ia berlari membawa air itu dengan keranjangnya. Sesampai di hadapan kakeknya, air itu pun telah tiada. tumpah ruah di jalan saat ia berlari. Anak itu melongo melihat airnya raib. Kakeknya meminta si cucu melakukannya lagi. Lalu ia pun kembali pergi ke sungai, berlari lebih cepat lagi dari sebelumnya. Terus begitu hingga tiga kali. Tapi air yang kakek minta tak jua kunjung ada.

Rupanya si cucu sadar, apa yang dilakukannya sia-sia. Sambil merengek ia pun protes,
"kek, bagaimana mungkin aku dapat mengambil air, sementara keranjang rotan itu bolong-bolong dan air tumpah sebelum aku sampai di hadapanmu".
Si kakek tersenyum, menang. Dengan bijak ia berkata,
"Kau memang tidak berhasil mengambilkan air untukku, tapi liat keranjangmu sekarang, ia menjadi bersih daripada sebelumnya".
"Bagitu juga jiwamu" si kakek melanjutkan "Kau juga aku tak mengerti sehurup pun dari al-Qur'an, tapi dengan sering membacanya, InsyaAllah jiwa kita bersih, halus, dan putih".

Si Cucu mengangguk mengerti apa yang dimaksud kakeknya. Sejak itu ia bertekad ingin menjadi ahli membaca al-Qur'an. Seperti juga kakeknya. Kemanapun ia pergi, al-Qur'an dibawanya serta. dibacanya. Terus dibaca. Masih terngiang di telinganya, suara kakek membaca al-Qur'an. Dan tiap pagi di masa kecilnya, ia selalu terbangun dengan suara itu ketika hari masih terlalu dini untuk dijalani.

(diceritakan kembali dari dudung.net)

Kamis, 14 Oktober 2010

BERMINAT MENJADI PENULIS?

Menulis. Kata itu yang selalu menghantui. Mendengar kata-kata itu adrenalinku lari, memburu tak keruan. Sejujurnya aku ingin menjadi penulis. Sebuah cita-cita yang hingga kini masih cukup sulit ku raih. Sebab ternyata menjadi penulis itu dinamis; kemarin kita penulis, entah sekarang apalagi besok, sekarang kita penulis, tidak kemarin dan entah esok.

Itulah. Penulis adalah orang yang selalu menulis, di mana pun. Apa yang dipikirkan dan dilihatnya mewujud kata-kata. Penulis sebenarnya lebih banyak memiliki pasar dalam pikirannya dibanding siapapun. Kadang ia tak sempat untuk terlalu banyak bicara dan sibuk berdebat dengan pikiran dan penanya.

Bagiku, penulis adalah pemikir sekaligus. Sebab tiap hurup tulisan adalah gagasan yang lahir hanya dari pikiran. Dinamika dan pergulatan yang menarik. Segala yang dicerap dikunyah hingga lebur, ditelan, lalu diendapkan menjadi energi dan dikeluarkannya dalam sebentuk karya.

Nyaris tiap orang merasa dirinya ingin menjadi penulis. Tetapi seringkali sulit. Memang banyak kasus menunjukkan kenyataan itu. Anda jugakah? Dalam pandanganku itu disebabkan beberapa hal;

Pertama, kita menulis karena itu sakit hati atau sedang jatuh cinta. itu pun sebatas puisi dan coretan-coretan serabutan yang tak tentu bentuknya.
Kedua, kita selalu ingin tulisan kita dibaca orang. Kita tidak pernah membayangkan ada orang yang menulis hanya untuk disimpan seumur hidup dan tak mau dibaca orang. Bagaimana dengan diary? pada akhirnya tentu ingin dibaca dan dikenang bukan?
Ketiga, kita menulis ketika ada mood. Itu yang sering saya rasakan. Sepertinya modal kita menulis bukan keinginan dan wawasan, tapi mood. Kalau begitu berdoalah agar mood itu selalu menaungi kita. ironis bukan?

Bagi anda yang berminat menjadi penulis saya punya trik yang sudah dicoba dan ternyata sangat manjur. Banyak orang menjadi penulis karena mempraktikkan tiga trik ini. Berikut triknya:
Langkah pertama adalah Menulislah!
Langkah kedua yaitu Menulislah!
Langkah terakhir adalah Menulislah!

Nah, tiga langkah itu yang akan menjadikan anda seorang penulis hebat! Percayalah!
Jika anda tak punya gambaran awal tentang apa itu dunia menulis, berikut beberapa kisah para penulis hebat:

1. Al-Ghazali, seorang Imam besar, Rektor Al-Azhar pertama (ketika itu masih bernama Univ. Nidzam al_Mulk) mendedikasikan dirinya untuk agama, ilmu, Sufistik, dan dunia kepenulisan. Ratusan kitab ia karang. Dia boleh mati. Dan kita tahu itu. Tetapi ia hidup hingga kini sebab karya-karyanya menjadi masterpiece dan rujukan utama bagi para ilmuwan dan bahkan kalangan pesantren di mana pun.

2. Suhrawardi, Filosof yang terbilang muda. Ia adalah ilmuwan muslim progresif. Di usia 38 tahun ketika ia wafat diracun penguasa yang berang dengan tulisannya, ia telah mengarang tidak kurang dari 38 Kitab-kitab penting. Ada banyak ilmuwan dan filosof muslim sekaligus mereka adalah penulis, seperti: Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Tufail, dll. Ibn Tufail adalah orang yang mengarang kitab "Hay Bin Yaqdzan" yang di kemudian hari menjadi inspirasi bagi lahirnya film legendaris "Tarzan".

3. Imam Muslim, penulis Hadits dan Ahli Hadits. Ia bersama legenda Hadits terkenal lainnya, salah satunya Imam Bukhari, adalah penulis hadits paling produktif. Hidupnya penuh didedikasikan untuk ilmu dan menulis. Setiap ia hendak menulis sebuah hadits, shalatlah ia dua rakaat dan memohon pertolongan dan perlindungan Allah, agar apa yang ditulisnya adalah benar dan bermanfaat. Terus saja begitu. Hingga ribuan hadits terkumpul dengan rapi dalam masterpiece nya.

4. Pramoedya Ananta Toer, tokoh Nasional dalam bidang sastra, dia mendapat penghargaan sebagai sastrawan Asia dan diakui kehebatan karya-karyanya. Hidupnya banyak dihabiskan di penjara sebab kritikan dan sebagian tulisan-tulisannya yang menukik dan menusuk penguasa. Apa yang ia dongengkan saban hari kepada rekan-rekannya di penjara kemudian ia tulis menjadi banyak buku Novel. Tetralogi Ananta Toer atau Tetralogi Pulau Buru adalah karya agung dan Novel Legendaris yang hingga hari ini belum dapat tergantikan oleh karangan yang lain.

Itu sementara beberapa gambaran tentang penulis. Ada banyak hal yang ingin saya tulis. Tetapi rupanya jari-jari saya tak mampu mengejar lompatan-lompatan ide-ide saya yang lahir terlalu cepat dan lari entah ke belahan dunia mana. Namun suatu saat akan saya cari dan ikat dengan tulisan. "al-Ilmu Shoidun, wa Al-Kitabatu Qoiduhu". Lalu apakah anda kini berminat menjadi penulis?

Jumat, 27 Agustus 2010

SERVICE MESIN (PUISI)

Siang ini aku tak mau berpuisi. Aku lelah. Tiba-tiba saja aku jenuh merangkai kata yang rumit dan kadang tak ku pahami makna utuhnya.

Semenjak aku lama tak menulis artikel, aku seperti tubuh tanpa tulang, lemas lunglai. Puisi saja, kadang, membuatku lemah.

Jujur, menurutku sendiri, puisiku masih berantakan. Ternyata benar apa yang dikatakan ke Faaizi, menulis puisi sama susahnya seperti mengarang sebuah Novel atau bahkan membangun rumah. Apa yang menurut kita bagus ternyata kering makna; Sesuatu yang kita paksakan makna termuat di dalamnya ternyata tidak dapat ditampilkan dengan bahasa yang baik dalam bentuk puisi. Ada dilema antara Makna dengan kata. Seseorang yang mahir berpuisi mampu mengompromikan keduanya menjadi serasi melebihi suami istri. Sementara bagi pemula sepertiku, sulitnya minta ampun. Selalu saja perkelahian yang terjadi; selalu saling mengalahkan. Ya, itulah proses, barangkali.

Sementara aku berjalan sendiri dan tanpa ada yang bicara kanan kiri. Puisiku tak berbengkel apalagi onderdil dan jasa servis seperti kebanyakan puisi para seniman lain.

Sampai detik ini aku menulis puisi sebab aku masih yakin, masih banyak yang belum aku gali, masih banyak yang belum terungkapkan melalui bahasa sunyi, padahal hidup mesti selalu kita syukuri.

Lewat puisi, ekspresi menjadi begitu luas, dunia begitu lebar. Dan aku bisa menjadi diriku sendiri. Sesekali aku numpang gila dan melupakan segala hidup di gubuk kata-kata. Di situlah aku temukan sejenak ketenangan.

Ah sudahlah..

Aku maknai perjalanan ini sebagai sebuah fase dari rangkaian perjalanan. Dulu artikel, kini puisi, lalu apalagi?!?!?!?